Selasa, 02 Oktober 2012

FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

KEKERASAN TERHADAP GENDER DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
LATAR BELAKANG
Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah ada sejak dulu contohnya saja jika diambil dari terminology Yunani yaitu ketika Medusa yang diperkosa oleh Poseidon, yang dapat imbasnya justru si dewi itu yang dikutuk menjadi manusia buruk rupa bahkan jika ada orang yang menatap mata ssang Medusa orang tersebut akan berubah menjadi batu, sementara dewa laut Poseidon dibiarkan bebas begitu saja, karena kesalahan dituduhkan kepada Medusa karena Poseidon itu memperkosanya karena Medusa lah yang menggoda Poseidon

Pengertian dari kekerasan terhadap gender itu diartikan berbeda dari masing-masing pasal yang dibuat oleh PBB sebagai badan yang menjadi pedoman bagi seluruh Negara berdaulat  di dunia, salah satunya ialah CEDAW yang mengatakan yang dikatakan sebagai kekerasan terhadap perempuan itu ialah tindakan yang menyebabkan kerugian fisik, mental, seksual, penderitaan, ancaman, paksaan dan juga perampasaan hak-hak berdasarkan gender. Beda halnya yang dikemukakan oleh Human Right Watch: kekerasan terhadap gender itu bukan hanya ditujukan kepada perempuan melainkan kepada laki-laki juga.

Berdasarkan presentasi saudari Rahmi Yulia pada kegiatan diskusi mingguan mengenai kajian diplomasi dalam hubungan internasional pada tanggal 22 Mei 2012 yang saya kutip dari slide yang dibagikannya
“Di seluruh dunia, 1 dari 3 wanita dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks, atau dilecehkan, dijadikan korban percobaan perkosaan, hokum yang mengatur tentang kesetaraan gender sering tidak diterapkan, setidaknya 130 juta perempuan telah dipaksa menjalani mutilasi alat kelamin perempuan dan sedikitnya 60 juta anak tidak sempat dilahirkan ke dunia akibat dari aborsi atau kelalaian”

Saya mengutip lagi perkataan dari Susan Brownmiller yang dikemukakan saudari Rahmi dipresentasinya pada diskusi kajian diplomasi yang mana ketika perang, kejahatan seksual sering kali dijadikan alat negosiasi internasional antara pihak ketika perang usai.
Anggapan bahwa perempuan itu diposisikan berada “dibawah” laki-laki yang tidak perlu keluar mencari nafkah, ikut berinteraksi dengan masyarakat sekitar, ikut bersuara mengeluarkan aspirasi mereka dalam perpolitikan itu sudah ada sejak dahulu yang mana anggapan itu dibuat sendiri oleh masyarakat yang ada dan diturunkan secara kontinu dan melekat menjadi sebuah nilai.

TINJAUAN TEORITIS
Mengapa isu persamaan gender dengan adanya emansipasi wanita itu bisa menjadi sebuah kajian dalam hubungan internasional? Dewasa ini di saat seluruh Negara mengalami arus modernisasi ternyata masih ada anggapan atau budaya beberapa masyarakat yang masih meletakkan wanita itu terbelakang posisinya dalam masyarakat yang berdampak undang-undang atau kebijakan-kebijakan yang dibuat secara global itu tidak menjangkau masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Perempuan dianggap tidak perlu untuk ikut dalam kegiatan politik, karena dari segi biologis dianggap lemah, perempuan dianggap tidak lumrah untuk menjadi seorang kepala Negara atau kepala-kepala lainnya.

Yang dimaksud dengan kesetaraan gender itu bukan berarti menuntut persamaan atas anatomi biologis, gender menjelaskan kepentingan atau pengertian social yang ditujukkan terhadap perbedaan-perbedaan itu. Hal inilah yang mendasari mengapa feminism ini bisa dijadikan kajian dalam hubungan internasional yaitu Negara, dalam hal yang berkaitan dengan Negara contohnya yaitu buruknya rancangan dan penegakan hukum untuk kekerasan terhadap perempuan, agen penegak hokum yang melanggar hukum, kurangnya fasilitas dan pendidikan untuk pencegahan dan pengobatan perempuan sebagai korban dari kekerasan, sanksi dan penguatan gender yang tidak setara. Selain itu ketidak pedulian Negara dan penelantaran dalam memberikan dan menciptakan peluang bagi perempan dalam hak nya untuk bekerja, berpartisipasi, pendidikan, dan akses layanan social.

Fakta yang diluncurkan oleh OXFAM CANADA yang saya kutip dari presentasi Rahmi Yulia berkaitan dengan gender based violence itu hukum yang mempromosikan kesetaraan gender sering tidak diterapkan. Pelaku kekerasan berbasis gender seringkali tidak dihukum. Diseluruh dunia, perempuan dua kali lebih mungkin daripada laki-laki untuk buta huruf, membatasi kemampuan kemampuan mereka untuk menuntut hak dan perlindungan. Kekerasan berbasis gender juga berfungsi dengan niat melanggengkan kekuasaan laki-laki dan control. Hal ini ditopang oleh budaya diam dan penolakan keseriuan konsekuensi kesehatan dari penyalahgunaan.

Feminism ialah sebuah teori yang masuk dalam kategori tori kritik, yang mana berdirinya teori feminism ini ialah mengkritik tentang fenomena yang dibuat oleh teori-teori sebelumnya, kemudia apakah berhasil teori feminism ini mengedepankan hal-hal yang harus mereka suarakan berkaitan dengan perempuan atau gender? Secara umum telah dapat dikategorikan berhasil dibuktikan dengan pergerakan emansipasi wanita yang bnyak kita lihat sekarang, contoh real nya saja, Indonesia pernah dipimpin oleh Presiden wanita, serta banyaknya perempuan yang duduk di bangku parlemen. Terkait dengan kekerasaan terhadap gender apa produk yang dilahirkan oleh desakan atau kritikan yang di usung oleh feminism dapat kita buktikan dengan banyaknya institusi-institusi mengenai perempuan, pemerdayaan perempuan, undang-undang perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak dan lainnya.

Munculnya hukum mengenai gender based violence itu pertama kalinya perkosaan perang mendapatkan hukuman dari dunia internasional adalah pada kasus di Yugoslavia pada tahun 1994 melalui internasional Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY). Keberhasilan dalam memberikan sanksi hokum pada perkosaan sebagai kejahatan perang dilanjutkan dalam konflik Rwanda tahun 1995 dengan International Tribunal for Rwanda (ICTR). Statuta Roma tentang pengadilan pidana Internasonal (ICC) menjadi perjanjian pertama yang mengakui pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berbasis gender sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Seiring perkembangan kini banyak bermunculan organisasi-organisasi yang peduli terhadap kekerasan berbasis gender yang mana organisasi tersebut adalah Integrated Regional Informationn Network (IRIN) organisasi ini merupakan bagian bagian dari kantor PBB untuk koordinasi Urusan Kemanusiaan, tetapi jasanya editorially independen dan yang laporan tidak mencerminkan pandangan dari PBB dan lembaga-lembaganya. Kemudian ada lagi Womenn and Armed Conflict, by Woman Watch yaitu gerbang pusat informasi dan sumberdaya pada promosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di seluruh system PBB. WomanWarPeace.org adalah website yang dibuat oleh dana pembangunan PBB untuk perempuan (UNIFEM) pada perempuan, perdamaian, dan keamanan. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi kurangnya data konsolidasi dari dampak konflik bersenjata terhadap perempuan dan anak perempuan. Portal ini berfungsi sebagai pusat informasi terpusat dari berbagai sumber, degan link ke laporan dan data dari system PBB untuk informasi dan analisi dari para ahli, akademisi, LSM dan sumber media.
Gender and Conflict, by the international Crisis Group, mengumpulkan pekerjaan Crisis Group pada gender dan konflik, termasuk laporan dengan penekanan khusus gender dan gender yang berkaitan dengan rekomendasi. Hal ini juga menyediakan link ke sumber lain yang relevan di web. Women’s Rights, by Human Watch ini memberikan informasi terntang terjadinya kekerasan berbasis gender di Negara-negara tertentu, seperti Sudan, Irak dan republic demokratik Kongo, dan menawarkan informasi tentang hak asasi manusia pada perempuan yang bekerja pada konflik bersenjata.

DAFTAR PUSTAKASteans, Jill. & Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Peljar
Jackson, Robert. & George, Sorensen, 2005. Pengantar Studi Internasional (Terjemahan. Dadan Suryadipura, Introduction to International relations). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar